Sabtu, 14 April 2012

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM




Disusun untuk memenuhi tugas :

Mata Kuliah : Masail Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Dr. Makrum Kholil, M.Ag














Disusun oleh :

Mahruzar Riyadi 202109115



PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN)PEKALONGAN

2012

PENDAHULUAN


Latar Belakang Masalah

Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyrakat sekarang ini ialah dimana kita sering jumpai terjadinya perlangsungan pernikahan beda agama. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakat yaitu berupa perkawinan campuran. Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan dikemudian hari. Oleh karena itu, kemudian hal itu banyak mendapat tantangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di Negara kita serta hokum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.

Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan perkawinan beda agama ini, maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hokum Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hokum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia. Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.

PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM

  1. Konsep dan Pengertian Nikah Beda Agama

Secara etimologi, pernikahan berarti “persetubuhan”. Ada pula yang mengartikannya “perjanjian” (al-Aqdu). Secara terminology pernikahan menurut Abu Hanifah adalah “Aqad yang dikukuhkan untuk memperoleh kenikmatan dari seorang wanita yang dilakukan dengan sengaja”.

Pengukuhan disini maksudnya adalah sesuatu pengukuhan yang sesuai dengan ketapatan pembuatan syari’ah, bukan sekedar pengukuhan yang dilakukan oleh dua orang yang saling membuat aqad (perjanjian) yang bertujuan hanya sekedar untuk mendapatkan kenikmatan semata.

Menurut mazhab Maliki, pernikahan adalah “Aqad yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita”. Dengan aqad tersebut seseorang akan terhindar dari perbuatan haram (zina). Menurut mazhab Syafi’i pernikahan adalah “Aqad yang menjamin diperbolehkan persetubuhan”. Sedang menurut mazhab Hambali adalah “Aqad yang di dalamnya terdapat lafazh pernikahan secara jelas, agar diperbolehkan bercampur”.1

Menikah dengan pasangan yang se-agama tentu tidak akan susah-susah mengurus segala sesuatu mulai dari restu keluaga, juga dalam berhubungan dengan pemuka agama yang menikahkan hingga pegawai pencatat nikah. Akan tetapi ceritanya akan lain kalau Anda sudah berketetapan hati untuk menikah dengan seseorang yang merupakan pasangan hidup anda. Bukan sekedar karena sudah bilang mencintai, tapi juga niat tulus untuk berbuat baik dan membangun keluarga bersama dalam sebuah ikatan. Tetapi niat baik itu akan terbentur tembok agama dan juga birokrasi hukum.

Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilangsungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain. Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai didalam kehidupan bermasyarakat.2

Persoalan nikah beda agama dalam konteks Negara Indonesia adalah persoalan hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.3

  1. Hukum pernikahan beda agama

Ketika membicarakan tentang orang-orang yang boleh dan haram untuk dinikahi, maka kita tidak bisa melepaskan pembicaraan lebih jauh mengenai hukum menikah dengan ahli kitab, kita harus memberi batasan terlebih dahulu apa yang dimaksud ahli kitab, karena banyak orang yang mengira bahwa setiap non muslim atau orang kafir itu adalah ahli kitab.

Ada banyak pendapat mengenai siapa ahli kitab. Jika kita mengacu pada beberapa ayat al-Qur’an yang menyebutkan ahli kitab biasanya ayat tersebut menunjuk pada komunikasi nasrani dan yahudi. Akan tetapi Imam Syafi’i membatasi pengertian ahli kitab hanya kepada orang-orang yahudi dan nasrani dari keturunan Bani Israil.

Abu Hanifah dan beberapa ahli fiqih lain, salah satunya Imam Abu Saur menyatakan bahwa ahli kitab adalah seluruh komunitas yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab suci yang diturunkan Allah SWT. Jadi ahli kitab menurut mereka bukan hanya menunjuk kepada komunitas yahudi dan nasrani.

Sementara itu, setelah meneliti beberapa pendapat ulama, Quraish shihab dalam bukunya wawasan al-Qur’an mengemukakan kecenderungannya memahami ahli kitab sebagai semua penganut agama yahudi dan nasrani, kapanpun, dimanapun dan dari keturunan siapapun mereka. Pendapat ini berdasarkan pada penggunaan al-Qur’an terhadap istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan tersebut (yahudi dan nasrani). Pendapat Quraish Shihab di atas termasuk pendapat yang moderat dan banyak dipegang para ulama’. Maka pengertian ahli kitab lebih menunjuk kepada pengertian komunitas yahudi dan nasrani pada umumnya.

Adapun hukum pernikahan beda agama, yaitu:

  1. Muslimah menikah dengan laki-laki lain

Permpuan muslimah tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S. al-Baqarah: 221)4


Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:

  1. Menurut Sayid Sabiq, mengatakan bahwa ulama’ fiqih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan muslim dengan pria non muslim dari golongan manapun.

  2. Menurut Ali ash-Shabuni dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 10, mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahli kitab dan non muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.

  3. Menurut Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa al-Qur’an sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita muslim dengan pria non muslim.

  4. Menurut Mahmoud Muhammad Toha, berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan.

  5. Menurut Zainun Kamal, berpendapat bahwa wanita muslim boleh menikah dengan pria non muslim manapun selain pria kafir musyrik quraisy.5

  1. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim

Pernikahan seorang lelaki muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:

  1. Lelaki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab.

Jika wanita haram menikah dengan laki-laki non muslim termasuk laki-laki ahli kitab, tidak demikian halnya dengan laki-laki muslim. Para lelaki muslim hukumnya mubah menikahi perempuan dari komunitas ahli kitab, yaitu komunitas yahudi dan nasrani. Diluar dua komunitas ini laki-laki muslim pun haram menikahinya. Firman Allah

Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Q.S. al-Maidah : 5)6


Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:

  1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.

  2. Wanita kitabiyah yang muhshanah.

  3. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan dengan kaum muslimin.

  4. Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan “tidak bahaya dan tidak membahayakan”.

Walaupun hukumnya mubah, mesti diperhatikan bahwa ada beberapa keburukan yang akan terjadi manakala seorang lelaki muslim menikah dengan wanita non muslim, antara lain:

  1. Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki muslim. Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki muslim yang belum kawin. Sementara itu poligami diperketat yang malah laki-laki yang kawin dengan wanita nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin menyetujuinya suaminya berpoligami.

  2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila hal ini terjadi maka benar-benar menjadi kenyataan.

  3. Perkawinan dengan non muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika lelaki muslim dan wanita kitabiyah berbeda tanah air, bahasa, dan budaya.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab:

  1. Menurut pendapat jumhur ulama’ baik hanafi, maliki, syafi’i, maupun hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam (ahli dzimmah). Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:

Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”(Al-Maidah: 5)


  1. Golongan syiah imamiyah dan syiah zaidiyah berpendapat bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab. Golongan ini melandaskan pendapatnya pada dalil:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”. (al-Baqarah: 221)


Golongan ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena wanita-wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Firman Allah:

...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; ...”(al-Mumtahanah: 10)


Kemudian dikalangan jumhur ulama’ yang memperbolehkan kawin dengan ahli kitab, juga berpendapat:

  1. Sebagian mazhab hanafi, maliki, syafi’i dan hambali mengatakan bahwa hukum perkawinan itu makruh.

  2. Menurut pendapat sebagian mazhab maliki, ibnu qasim, khalil, mengatakan bahwa perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat.

  3. Az-Zarkasyi (mazhab syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan sebelum ini. Sebagian mazhab syafi’i pun ada yang berpendapat demikian.7

  1. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non ahli kitab.

Dalam hal ini banyak ulama’ yang melarang dengan dasar Q.S. al-Baqarah ayat 221:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (Q.S. al-Baqarah: 221)


Ayat tersebut secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum musyrik.8

Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:

  1. Menurut Ibnu Umar, berpendapat bahwa hukum perkawinan pria muslim dengan wanita ahli kitab adalah haram.

  2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, melarang perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita yahudi dan nasrani. Sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang terpenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahli kitab.

  3. Menurut Rasyid Ridha, berpandangan bahwa maksud dari Q.S. al-Baqarah: 221 dan al-Mumtahanah: 10, adalah untuk melarang perkawinan pria muslim dengan wanita musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan yahudi dan nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita manapun, baik majusi, shabiah, hindu, budha, orang-orang china dan jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk ahli kitab yang berisi tauhid sampai sekarang.9

Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagi kepada:

  1. Perkawinan dengan wanita musyrik

Agama Islam tidak memperkenankan pri muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 221. Ayat tersebut dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik. Demikian pendapat para ulama’ menegaskan demikian.

  1. Perkawinan dengan wanita majusi

Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan yang dimaksud ahli kitab adalah yahudi dan nashara.

  1. Perkawinan dengan wanita shabi’ah

Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama nasrani: shabi’ah dinisbatkan kepada Shab paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah, karena berpindah dari satu agama kepada agama lain.

  1. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala

Para ulama’ telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk orang-orang kafir.10

SIMPULAN

Sebagaimana ajaran yang paripurna, Islam telah memberikan aturan yang jelas mengenai pernikahan. Karena pernikahan merupakan ritual penting yang tidak hanya menyangkut masalah fiqih. Pernikahan ternyata juga menyangkut masalah sosial, budaya dan politik yang lebih kompleks. Seorang muslim harus memandang perkawinan dari perspektif yang komprehensif. Apalagi jika menyangkut perkawinan dengan non muslim.

Adapun hukum pernikahan beda agama jika disimpulkan yaitu:

  • Suami Islam, istri ahli kitab = boleh.

  • Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram.

  • Suami ahli kitab, istri Islam = haram.

  • Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram.

Meskipun seorang laki-laki muslim boleh menikahi dengan ahli kitab tetapi bukan berarti dia bebas memilih perempuan ahli kitab yang diinginkannya. Ada beberapa ketentuan yang wajib diperhatikan atau dijaga ketika seorang lelaki muslim mengawini seorang wanita ahli kitab. Meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab diperbolehkan agama tetapi karena banyak madhorot yang ditimbulkannya maka sudah seharusnya seorang laki-laki muslim lebih memilih perempuan muslimah ketimbang wanita ahli kitab.

DAFTAR PUSTAKA

Baso, Ahmad & Ahmad Nurcholis (editors). 2005. Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM.

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Katsir, Ibnu. 1997. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/582. Riyadh: Dar Thayyibah.

Yusuf Qardlawi, Syekh Muhammad. 1976. Halal dan Haram dalam Islam. Bangil: PT. Bina Ilmu.

Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html.




1 M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah, Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 1-2.

2 Raja 1987.blogspot.com/…/ kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.htm

3Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis (editors). Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan (Jakarta: Komnas HAM, 2005), hlm.7.

4Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam (Bangil: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm.252.

5 Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html

6 Isson Khairul, Menikah dengan Ahli Kitab (Anggun, 2008), hlm. 82.

7 M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm. 11-13.

8 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim. 1/582 (Riyadh : Dar Thayyibah, 1997).

9 Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html

10 M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm 7-10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar